Kau dan Aku

| Wednesday, December 26, 2012 | 0 comments |
Sekarang kita sama-sama tersesat
Sulit menemukan tempat tuk bersinggah
Dalam jarak tak sebenarnya kita terpisah jauh
Namun percayalah sesungguhnya kita berhadapan
Bahkan tahukah kau, aku dapat membaca kartumu
Tak perlu ada yang kau tutup-tutupi
Aku tahu kapan waktunya kau menang dan kapan kau akan kalah

Kini aku dalam perjalanan datang kepadamu
Sabarlah, kasih
Tak peduli yang terjadi
Meski hambatan banyak menghalang
Aku sedang menuju dirimu
mencoba menjalin kembali koneksi antar kau dan aku

Tapi kini sepertinya kesabaranmu mulai habis
Tak bisakah kau memberi ku waktu sedikit lagi
Mengapa justru kau ungkit janji yag tlah lalu
Kini waktunya menghadapi yang kini
Dan yang esok
Bila esok pagi aku tak terbangun dari tidurku
Jangan paksa aku melompat bersamamu
tapi kau dapat pegang janjiku
Langkahku adalah bersamamu

Gagal Poker

| | 0 comments |
Sungguh aku murka
Ketika tinggal kugapai bahagia bersamamu berdua
Ketika tiba waktunya kulucuti segala milikmu

Lagi-lagi yang kujumpa hanya ketidakpasan
Kau sudah siap duduk disana
Namun kehadiranku yang tak bisa kupastikan
Aku masih terjebak

Hingga akhirnya ada orang lain yang telah datang menemanimu
Namun aku tahu setiamu padaku
Kau pun pergi dari sosok yang lain itu
Dan mencarikanku tempat untuk berdua denganmu

Gagal Connect

| Tuesday, December 25, 2012 | 0 comments |
Tak sanggup lagi bila harus menunggu
Masuk setahun lamanya
Kluarpun tak jauh beda
Meski tlah berkali-kali kucoba ulang
menampilkan yang baru

Berkali-kali kucoba masuk ruang yang berbeda
Tak juga kutemui keadaan yang tepat
Aku terjebak

Cerpen Nyelip : Embun dan Bintang

| | 0 comments |



Tubuhku membeku ketika mataku menangkap sosok itu. Sosok yang kurindu sekaligus ingin kuhapus dari kenanganku yang telah terlanjur abadi. Sosok yang kini mulai melangkah mendekat, perlahan namun tegas. Hingga tanpa sadar aku mulai melangkah mundur. Aku belum siap bila harus kembali menatap wajah itu setelah lebih dari 1 tahun aku mencoba mengusir bayangannya, meski berakhir dengan hanya menyembunyikan sosoknya dibalik ingatanku yang lain. Namun kini tak lebih dari 1 detik, lelaki itu kembali mengusik sanubariku.
“Hai, Embun kan? Masih ingat sama mas ga?” suaranya yang khas masih sama seperti dulu, hanya saja kini terdengar lebih ceria. Tak lagi sendu seperti saat pertama kami bertemu. Perawakannya pun kini terlihat lebih tegas. Ah, mungkin kini Mas Bintang telah hidup bahagia dengan Mba Sinta. Perih mulai menyelimuti perasaanku begitu kenangan itu kembali terputar dalam benakku, seolah seperti drama panggung yang kembali dimainkan.
“Eh, kok melamun sih? Benar sudah lupa ya sama Mas Bintang?”
Mana mungkin aku lupa, mas! Hatiku kecilku berteriak tegas. “Maaf, mas, tadi memang aku sempat lupa, habis sekarang Mas Bintang berbeda sekali  sama dulu.”
“ Ah, masa sih? Mas Bintang ga banyak berubah kok. Kamu tuh yang banyak berubah, sekarang sombongnya minta ampun.”
“ Sudahlah, ndak perlu dibahas, mas. Gimana kabarnya Mba Sinta, mas?” Nyeri kembali merasuki hatiku, entah mengapa justru pertanyaan bodoh itu yang kulontarkan, pertanyaan yang jelas-jelas akan kembali membuka luka lamaku lagi.
“ Baik-baik aja ko, ndut. Lah kamu gimana? Udah SMA ni ye? Gimana rasanya jadi anak SMA? ”
“ Biasa aja, mas. Sama aja kaya waktu SMP dulu.”
“ Gitu ya. Eh, Embun masih suka bikin puisi ga?” Aku terperanjat seketika mendengarnya. Sudah 6 bulan aku meninggalkan hobiku membuat puisi. Dulu Mas Bintang yang mengenalkan puisi padaku. Atau dengan kata lain Mas Bintang yang membawaku menemukan jati diriku. Namun demi berusaha melupakan Mas Bintang aku harus merelakan cita-citaku menjadi penyair.
“Udah ga suka, mas.”
“Loh, kenapa, ndut? Padahal dulu kan kamu suka banget mbikin puisi. Kita juga sering baca puisi bareng kan. Hahaha.. Mas jadi nostalgia nih.”
“Udahlah, mas, ga usah bahas yang dulu-dulu. Aku dah ga mau inget-inget lagi, mas.”
“Embun masih marah ya soal yang dulu? Mas bukannya ga suka sama Embun. Cuma kan kita bedanya banyak banget, mbun. Mas ga……”
“Cukup, mas. Embun bukan marah. Embun cuma capek. Embun dah berusaha nglupain Mas Bintang tapi sekarang Mas Bintang dateng lagi seolah ga pernah ada apa-apa dan bikin semua luka Embun sakit lagi, mas.” Aku mulai terisak. Sesak kembali meliputi setiap bagian jiwaku. Semua kenangan itu kembali kuingat.  Air mataku telah merebak.
“Maafin mas, mbun.” Mas Bintang mengeluarkan sapu tangan dan mengulurkannya padaku.
“Yang luka itu hati aku, mas. Saputangan ini ga bisa mbantu apa pun.” Aku tak kuat lagi menahan semua rasa ini, malu, marah, takut. Kuambil langkah seribu, meninggalkan Mas Bintang yang hanya diam terkejut menerima reaksiku. Satu detik kemudian terdengar langkah kaki Mas Bintang yang mulai mengejarku. Sekuat tenaga aku mempercepat langkahku. Suara anginpun terdengar kencang ditelingaku. Namun setelah itu yang kudengar hanya teriakan Mas Bintang yang menyebut namaku dan sura decit mobil. Lalu semuanya gelap.

Aku berputar dalam gelap
Hanya kekosongan yang kutangkap
Hampa
Sesekali suara lelaki itu masih terdengar menyerukan namaku
Namun  tanpa bisa berkutik aku hanya terpejam
Beku menguasaiku
Lalu selanjutnya diam, tanpa suara
Hingga cahaya putih berebut menyerbu tubuhku

“Embun, bangun. Bangun, Embun.”
Wajah Mas Bintang menyambutku. Mataku menyipit berusaha mengatur cahaya silau yang menyerbu masuk. Mas Bintang memelukku. Ada kehangatan saat tubuh Mas Bintang menyentuh tubuhku. Aku rindu saat-saat ini. Andai Mas Bintang tercipta untukku. Andai Mas Bintang dan aku tak berbeda dalam banyak hal. Setiap detik ini aku nikmati, andai waktu berhenti saja.
Tiba-tiba perih menyerang kepalaku, seperti dipukul dengan kayu, pening. Dan kembali gelap yang kutemukan.

Lalu secercah cahaya indah berkelip
Bintang itu bersinar terang
Mengusir gelap yang tadi mencekam
Kehidupan telah direnggut dariku
Namun aku tak sendiri
Bintang itu  menemaniku disini
Dan aku pergi dalam peluknya
Begini sudah cukup
Terima kasih, Bintang
Meski hanya beberapa detik kesempatan yang ada
Paling tidak sempat kurasakan cahayamu
Bintang…

Lalu?

| | 0 comments |
Jalan yang ragu mulai kuteguhkan
Mencoba menghapus perih yang kau cipta
Mulai lagi mencoba mencari yang tak bersembunyi
Meraba langkah baru yang mesti kujalani

Meski mencoba berlari
Namun ternyata kuhanya merayap
Seolah tak puas
ternyata akupun hanya berputar
Terdampar lagi dalam dirimu

Lalu kini bagaimana
Mungkin hanya kau yang dapat menjawab
Tapi bahkan kau tak disini
Mungkin mengingatkupun tidak
Bagaimana mungkin kau kan menjawab pertanyaan hatiku yang hampa ini

Kisahku

| | 0 comments |
Kuingat gelap yang pernah membelengguku
Kuresapi dulu belaimu yang tenangkan aku
Kutangisi kembali cerita yang tlah lalu
Kuterdiam saja melayang pada ragu

Pernah langkahku kau bantu
Dengan senyum tulus memberi semangat
Pernah tetes air mataku kau usap
Dengan lembut memberi kehangatan

Namun kini waktu tlah beranjak
Yang tlah berlalu perlahan kabur
Hanya embun saja yang tersisa
Yang berkata kini tlah datang pagi yang lain

Namun aku belum mau pergi
Masih mencoba bertahan meski berbalut luka
Masih berharap ada lagi cerita yang sama
Namun kisah ini hanya menyuruhku menyerah
Pergi saja..
Entah apa kini jalan ceritanya
Namun yang jelas bukan kamu yang akan mengisi akhir cerita hidupku