Curhat Nyelip - Memang Harus Melepas Matahari

| Sunday, March 24, 2013 | 0 comments |


Semoga engkau akan membacanya, dan semoga kau mengerti...




Dulu aku pernah menulis sebuah sajak tentang sosok matahariku. Tentang matahari yang pergi dan dingin kepadaku yang mengharap cintanya. Namun tahukah kau, gambaran matahari yang kubuat itu untuk melambangkan sosokmu? Namun kini setelah kupikirkan kembali sajak itu, ternyata aku keliru. Tunggu, maksudku bukan salah melambangkanmu sebagai matahari, buan juga salah menuliskan sikap matahari, matahari memang begitu padaku. Hanya saja setelah melalui waktu yang cukup panjang--yang bukannya memperbaiki keadaan, namun justru semakin mengacaukannya--, kini aku menyadari arti lain dari menganggapmu sebagai matahari yang mati, kini yang harus ku sadari; kau adalah bintang yang sayangnya bukan tercipta untukku. Bukankah matahari juga bintang? Memang, justru itu, aku memang tak mengubah artimu, bagiku kau tetap bintang yang begitu besar dan terang. Karena itulah, lagi-lagi bagiku, aku layak menyebutmu matahari. Dari situlah selama ini kau kuanggap seperti raja langit itu. Namun lagi-lagi harus kukatakan, kau adalah matahari --atau bintang, atau entah apa yang harus kusebut-- yang nyatanya bukan tercipta untukku. Kenyataan pahitnya kau terlalu terang untukku, yah, alih-alih menerangi kegelapanku, dirimu justru membakar dan melukai setiap jiwa dan hatiku.


Selama ini aku selalu menahan perihnya mencintaimu--mengikutimu, mencoba membahagiakanmu ,menunggumu, memandangmu-- mencoba menyangkal bahwa kau terlalu 'terang' untukku, sambil dalam hati berharap aku bisa mengimbangi silaunya dirimu, namun sayang, aku bahkan tak berhasil meraih apapun. Cintamu? Bah! Kau bahkan tak membiarkanku mencicipinya barang sedetik saja. Lalu apa yang kudapat dari perjuangan cintaku slama ini? Nihil! Tak ada apapun kecuali perih, cemburu, 'gosong', terbakar, dan luka yang sepertinya terlihat tak mungkin sembuh. Bila kau bertanya apa aku marah? Aku akan balik bertanya, apa mungkin dalam posisiku ini aku tidak marah? Tapi tidak, ternyata rasa cintaku padamu mampu membuatku buta, hingga membuat akal sehatku sendiri bertanya-tanya bagaimana bisa aku masih mencintaimu meski telah ratusan kali kecewa?


Aku sudah berusaha berkali-kali menghindarimu, mencoba mencari hujan atau badai yang akan membuatku beristirahat dari lelahnya mencintaimu. Tapi lagi-lagi kau colek diriku, membuatku kembali menghangat lalu lagi-lagi terbakar perih. Seolah-olah kau tak rela melepas mainan atau boneka kecil yang dengan bodohnya tetap terpukau dan mengikuti semua maumu. Entah sengaja atau tidak, lagi-lagi kau membuat aku kembali padamu. Mengantri cinta yang tak mungkin kudapatkan, karna sesungguhnya jatahku hanyalah 0 besar, ya, nol besar. Kadang aku berfikir, mungkin perhatianmu padaku sebenarnya hanya bentuk perhatian yang kau ungkapkan untuk seorang adik matahari, atau mungkin murid matahari, yang kau sayangi tapi tak mungkin kau percayakan cinta? Tapi hei! Aku bukan anak kecil lagi! Aku sudah banyak belajar tentang rasa cinta, tentang bagaimana merasakannya, meski semua berujung pada kesedihan. Lagipula mana bisa aku merasakan hangat sinarmu yang terporsi untuk seorang adik --atau murid-- bila yang kuharap adalah cinta. Aku hanya mampu menyerap cinta darimu, dan karna nyatanya tidak ada jatah untukku, maka yang kudapat hanya perih. Yah, kau memang tak mengerti aku, dan aku juga tak akan menyangkal lagi, aku pun tak mengerti sedikitpun tentangmu, meski selama ini aku mencoba meyakinkan diriku, aku selalu mengerti dirimu. Namun nyatanya tidak bukan? Mana mungkin kau tak peduli kan cinta ku bila aku telah mengertimu. Maka dari itu, kini aku elukan, aku pun tak mengertimu sama sekali.


Karna segala hal itulah, kini aku akan katakan padamu, aku akan melepas matahari, melepas harapanku, melepas cintaku, melepasmu... Kali ini aku akan kembali menghindari berkas sinarmu. Memayungi diriku sendiri dengan kegelapan, sedih memang, tapi lebih baik daripada merasakan panasnya cahayamu yang menusuk setiap inchi jiwaku. Aku akan kuburkan cintaku di dalam tanah, dan tak lupa juga kugunakan peti mati untuk tempatku berbaring, begitu rapat agar tak lagi ada sedikitpun sinarmu yang jahil mencolekku. Lagipula kau tak akan merasa kehilangan, bukankah ada setangkai bunga ditempat lain yang juga merasakan cahayamu wahai raja langit, tapi berbeda denganku, yang bunga itu rasakan justru kehangatan. Tapi aku? Bah! Sekali lagi ku katakan agar kau mampu mengingatnya, hanya perih yang kucecap. Selama ini tlahku lakukan segalanya dan korbankan hati yang kupunya untuk mendapat cahaya cinta darimu, tapi seperti yang kubilang, aku tak mendapat cintamu, wahai bintang yang terlalu terang. Sedangkan bunga itu cukup tersenyum dan melambaikan tubuhnya saja sudah mampu membuatmu terlena. Maka itulah kini aku yakin, sudah saatnya aku melepasmu pergi, melepas perihku, melepas segala kenangan tentangmu, melepas impian bersamamu, melepas matahari. Biarkan aku menangis, bintang. Agar segala lukaku dapat kubasuh dengan airmataku. Jangan juga kau goda aku dengan sinar senter yang kau arahkan padaku untuk mencoba menipuku, seolah kau beri sinar cintamu, padahal jelas-jelas cintamu telah habis untuk bunga itu. Ah, bukankah seharusnya aku tak perlu khawatir, bukankah tadi kukatakan akan kututup diriku rapat-rapat, jadi sinar senter palsu sialan itu tak akan bisa menyentuhku. Jadi, biarkan aku menutup diri darimu! Biarkan aku bersembunyi pada malam, hingga nanti aku akan kembali menyapa pagi--saat dimana kau akan terbangun dari tidur mu-- saat rasa ini telah mati.

Bukan Negri Siapa-Siapa

| Tuesday, March 19, 2013 | 0 comments |
Sang raja sedang pusing di singgahsananya
Para pembantunya dihujat para rakyat
Matanya yang telah mengantong kini semakin hitam
Binggung mendapat lemparan batu dari banyak arah
Sebentar lagi dia akan terganti
Negri ini dipenuhi perang politik
Memperebutkan kursi untuk memerintah

Negri ini semakin runtuh
Pilarnya telah retak
Tanahnya sudah kering
Dan para penghuni semakin membabi buta sendiri

Negri ini bukan negriku
Negri ini bukan negri siapa-siapa
Negri ini hanya negri antah berantah dengan kehancuran yang tak henti menghantui

1 Tahun lagi tlah terlewati

| | 0 comments |
Masih kuingat jelas setiap detik kenangan tahun lalu
Saat kusambut usia baruku
Dari pagi yang diawali haru
berlanjut pada malu
Kala lelaki hatiku memberiku puisi
lalu indahnya persahabatan dengan kawan yang kini tlah jauh dariku
Tawa canda yang tercipta kini hanya menjadi kenangan
Segalanya tlah berubah kini

Aku bukan lagi yang dulu
Kini dengan usia baru lagi
Duniaku telah berbeda
Bukan berarti kau kulupakan kawan lama
Aku sungguh rindu tertawa bersamamu
Melepas segala canda yang kutahu

Namun 1 tahun lagi tlah berlalu kawanku
Bila merindu hanya mampu kupandangi fotomu
Berharap diakhir minggu kau bisa mengabariku
Doakan aku kawanku
Diusia baru aku semakin mampu
Melalui hidupku yang kini sedang sendu
Dan bila nanti kita bertemu
Nyanyikan aku sebuah lagu
Lagu persahabatan tanpa ragu
Karna aku tahu kita selalu satu
Meski terpisah ruang dan waktui

Harapan tlah Berlalu

| | 0 comments |
Sejak dulu aku tlah tahu
Sungguh telah lama mengerti
Kau jauh dariku
Jauh dari takdirku
Perbedaan yang ada bukan tercipta untuk saling melengkapi
Tapi memang untuk memberi batas
Persahabatan palsu ini
Persahabatan yang kucipta tuk tutupi cinta
Dan persahabatan yang kau buat tanpa rasa

Sejak dulu aku tahu
Namun aku tak mampu
Melepas cintaku
Masih ingin bersanding
Meski hanya pada bayanganmu di mimpiku
Tetap kutanam cintaku semakin dalam
Dengan harap suatu saat akan berbunga dan kau petik

Kini cintaku tlah layu
Terlalu lama kau biarkan
Karna tlah ada bunga indah yang tlah lama hiasi hatimu
Bunga lain itu, bunga yang tak henti kau tatap matanya
Dan untuk yang beratus kali
Aku disadarkan aku bukan siapa-siapa untukmu
Bagimu
Harapan tlah berlalu

Tak ada waktu berhenti

| | 0 comments |
Ayo terus berlari
Tak ada waktu berhenti
Meski hanya sejenak menarik nafas
Beban yang kupikul pun semakin berat
Padahal aku harus berlari
Meski kawan-kawan lama banyak berjalan
Aku tak ada waktu
Harus berlari
Tak ada waktu untuk berhenti
Selesai sudah waktu bersantai
Kini saatnya mengejar matahari
Kawan lama masih dibelakang
Namun jalannya lebih tegap
Daripada aku yang berlari dengan raga terpaksa
Kutinggalkan kawan dibelakang
Mereka masih bersenang-senang
Aku masih berlari
Karna tak ada waktu berhenti

Deadline

| Tuesday, March 5, 2013 | 0 comments |
Tak henti berfikir
Tak henti berlari
Tak henti mengeluh
Tak henti kecewa

Disela tawa
Disela canda
Disela bahagia
Disela senyum indah

Aku sedang dikejar
dikejar garis mati
Deadline
Berita-berita yang harus terus tersetor

Menyerah saja
kadang menjadi pilihan
Tapi masih ada sisa tenaga
Mari berjalan bersamaku
Dengan sisa energi terakhir