Kisah Satu Hari untuk Pak Presiden
Kami bukan Pengejar Pelangi
Sidang Mari-muna
Sembuhkan Kami
Bambu dan Joko
Presiden Baru
Dear You
Mungkin Rakyat akan ….
Paper Ospek - Plural tetapi Anti Pluralisme
I. Contoh Kasus
Tentu kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang begitu beragam, baik keragaman suku, ras, adat istiadat maupun agama. Keberagaman atau kemajemukan inilah yang membuat seolah terbentuk kotak-kotak sosial yang menghasilkan kekhasan masing-masing dalam masyarakat Indonesia yang membedakan suatu kelompok dengan kelompok lain.
Karena hal inilah Indonesia dikenal sebagai negara yang plural. Karena arti kata plural sendiri merupakan jamak atau lebih dari satu. Kejamakan inilah yang membuat negri kita tercinta ini begitu berwarna dan kaya akan budaya yang selain dapat menjadi daya tarik, juga dapat membuat Indonesia lebih dipandang dan disegani bangsa lain.
Namun kadang keberagaman ini dapat menjadi bumerang bagi kita sendiri. Dimana perbedaan pendapat, budaya, adat, atau yang lainnya dapat memecahbelah karena tidak adanya toleransi dalam kemajemukan. Sikap atau paham yang bertoleransi, mengakui dan menerima adanya keragaman biasa kita kenal dengan pluralisme. Sikap inilah yang masih begitu langka dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung masih begitu mudah disulut atau dipanas-panasi dengan berbagai isu perbedaan suku, ras, maupun agama.
Sebagai contoh, pada pilpres 2014 kemarin, terpilihnya pasangan Jokowi-JK tentu saja menyebabkan berbagai dampak. Salah satunya, Jabatan Gubernur Jakarta yang dipegang Jokowi akan diserahkan kepada wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih sering disapa Ahok. Berbagai penolakan dilayangkan, untuk mencegah naiknya Ahok menduduki kursi no. 1 di Jakarta. Tak lain dan tak bukan, begitu banyak orang menolak Ahok karena beliau merupakan kaum nasrani dan juga seorang keturunan Tiongkok.
Tentu bukan sebuah rahasia bahwa warga negara Indonesia keturuan Tiongkok yang merupakan minoritas masih kerap kali mendapatkan diskriminasi dari berbagai pihak. Ada begitu banyak sejarah kelam yang mewarnai sejarah warga keturunan Tiongkok.
Dan saat ini di depan mata kita diskriminasi kembali terjadi. Ada belasan organisasi massa yang menentang naiknya Ahok. Pluralisme yang selalu kita serukan seolah tenggelam oleh keegoisan berbagai kalangan. Dan Indonesia kembali menjadi negara plural yang anti pluralisme.
II. Opini
Masalah SARA di Indonesia cukup membuat jenuh. Rasanya tak ada henti-hentinya isu suku, ras, agama bermunculan ke publik. Terlebih terhadap kaum minoritas seperti warga negara Indonesia keturunan. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap warga keturunan. Sikap-sikap inilah yang akhirnya membentuk kotak-kotak dalam masyarakat yang dapat merenggangkan kesatuan Indonesia. Begitu pula dalam dunia politik, umumnya warga keturunan merasa ogah dan menarik diri dalam berpolitik, bukan hanya dalam artian ‘tidak mau terjun kedalam dunia politik’ namun juga menyebabkan sikap apatis dan malas berpartisipasi sebagai warga negara. Namun munculnya Ahok menjadi gebrakan dan kejutan besar dalam dunia politik Indonesia, dan juga bagi mereka yang anti terhadap pluralisme. Dari kampung halaman hingga menjadi wakil gubernur, bahkan sebentar lagi akan naik menjadi gubernur Jakarta. Tentunya hal ini sangat merisaukan bagi mereka yang masih belum mampu menerima keberagaman di Indonesia. Masih banyak orang yang berpikir picik atau sempit, dan menganggap suku tiongkok di Indonesia masih merupakan bangsa asing yang singgah di Indonesia. Padahal nyatanya warga keturunan tiongkok di Indonesia hampir seluruhnya telah menjadi warga negara Indonesia, yang berarti memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Termasuk pula untuk menjadi pemimpin masyarakat. Namun karena masih mengganggap warga keturunan sebagai ‘orang asing’, para antipluralisme tidak mau dipimpin oleh warga keturunan, karena bagi mereka hal itu sama seperti dipimpin bangsa lain. Sehingga muncul ketakutan-ketakutan kembali terjadinya penjajahan di Indonesia. Dan akhirnya mereka mencoba mencegah Ahok menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jo
Salahku
Salahkah aku jika tak merasa bahagia
Dengan hidup yang kujalani sekarang
Dengan setiap getir yang merajai
Dengan setiap sepi yang menyertai
Salahkah aku bila tak puas
Dengan cinta yang berlimpah dari keluarga
Hingga menangis mengemis cinta
Pada dia yang tak akan memberi
Salahkah aku bila aku terus meneteskan air mata
Dan marah serta kecewa
Ketika kawan-kawanku dulu
Kini telah tertawa lebar begitu indahnya
Salahkah aku bila....
Ya, aku salah,...
Rasaku
Pernahkah kau merasa sendiri
Terpojok sepi tanpa ada yang menemani
Pernahkah kau merasa tak berharga
Dibuang tanpa mampu bersuara
Pernahkah kau merasa begitu hina
Hingga semua temanmu menjauh begitu saja
Pernahkah kau begitu bertanya-tanya
Mengapa semua pergi ketika kau membutuhkannya
Dan aku disini merasakan semua yang bahkan tak pernah kau bayangkan itu
Sendiri, meski berdiri tepat ditengah ramai
Tak berharga, kau buang tanpa ku tahu mengapa
Hina, bagaikan seonggok sampah
Bertanya-tanya.... Mengapa kau pergi ketika aku membutuhkanmu?
Hampir
Aku tak pernah tau apa arti hadirku bagimu
Arti setiap waktu yang kuberikan untukmu
Arti setiap langkah yang kubuat demi dirimu
Arti setiap tatapan yang bertemu
Arti setiap senyum yang bertamu dihatiku
Sudah dua kali bumi berotasi untukku
Untuk mencintaimu
dan memberimu waktu untuk belajar mencintaiku
Namun kau tak pernah mampu
Pernah ada hati lain yang singgah
Namun dirimu masih yang terindah
Masih belum bisa membuatku lelah
menunggu dirimu
Tapi kupikir hampir habis waktu yang tercipta
Kini waktuku menarik kembali hatiku
Yang kutitipkan padamu
Kini waktuku menggambul kembali hati yang telah membusuk itu
Untuk Kawanku yang Melangkah Menjauh
Aku tak tahu mengapa kau mengindariku
Tak pernah kumengerti alasanmu
Tiba-tiba menguap menjadi buih
Dari lautan canda kita
Ini bukan sebuah kisah cinta
Meski ada bumbu itu disana
Ini tentang sebuah persahabatan
Ketika tadinya tawa bisa mengatasi segala badai
Namun kini kabutpun tak bisa kita halau
Masih ingatkah kau kala itu
Kau rangkul aku dalam tawamu
Lagu yang kita nyanyikan dengan sumbang
Hal-hal kecil yang kita tertawakan
Kebahagiaan yang kita tebarkan
Mungkin kau lupa
Tapi setidaknya aku ingat
Dan aku yakin itu nyata
Kata persahabatan yang mengikat kita
Tapi mungkin kau bahkan tak pernah rasakan semua
Karena bagimu semua hanya angin lalu
Kalau ini semua memang sesepele itu bagimu
Bagaimana bisa kita lewati waktu yang tlah berlalu
Aku tak mengerti, dan aku merindu
Merindu dirimu yang dulu, kawan
Ketika tangan jalang itu belum menyentuh hatimu
Kecewa
Aku kira aku pantas
Lalu dengan senyum gemilang
Naskah itu kulayangkan
Dengan tak sabar
Kutunggu 28 hari berlalu
Tak kuduga waktu cepat berlalu
Bahkan yang kutunggu datang lebih cepat
Cukup 25 hari aku risau
Kubuka lembaran itu penuh yakin
Tangis pecah
Rasa tak percayapun meledak
Sedih tak kuasa kutahan
Kecewapun merebak
Aku pernah kecewa
Tapi kini begitu menyedihkan
Jalan yang kuyakini seolah runtuh tiba-tiba
Lalu aku harus menapak dimana?
Bila aku tak layak berjalan terus pada jalan ini
Meja Pikiran, Awal Maret 2014
Tuhan, jangan buat rasa kecewa ini membuntukan jalanku
Kau dan Tempat Ini
Aku pernah membenci tempat ini
Kala aku merasa terbelenggu
Kala aku tidak bisa terlelap dengan tenang
Kala bisik-bisik terus terdengar
Kala sosokmu memata-mataiku
Aku pernah membenci tempat ini
Ketika waktu mulai mencampakkanku
Ketika dunia mulai menjauhiku
Ketika aku mulai tak berdaya
Ketika aku terjebak dalam ramai yang asing
Aku pernah membenci tempat ini
Diawal aku mengenalmu
Diawal aku mempelajari hal yang tak berguna
Diawal aku menjelma menjadi bisu
Diawal hidupku berubah
Aku pernah membenci tempat ini
Tapi aku telah mencoba bangkit
Mulai lagi tertawa dan merangkai canda
Merangkul kawan baru, salah satunya kamu
Mulai terbiasa dengan ketidakberdayaanku
Membaur dengan ramai yang mengganggu
Aku pernah membenci tempat ini
Tapi sejak aku berubah, tidak lagi
Aku mulai nyaman disini
Tapi sejak kau berubah, tidak lagi
Aku benar-benar membenci tempat ini
Kembali membenci hal yang pernah kubenci
Dan itu karena kau berubah, kawan
Rapuh - Edisi Anti Korupsi
Jelas saja negara ini rapuh
Jelas saja negara ini mulai runtuh
Lah wong
Pilar-pilarnya terus digerogoti
Bahkan dari awal pondasinya juga telah dikorupsi
Mendung -Edisi Anti Korupsi
Langit gelap tak bercahaya
Mungkin sinar matahari telah masuk ke kantong-kantong bapak pejabat
Hujan pun tak turun-turun juga
Sudah pasti air hujan juga telah ditelannnya mentah-mentah
Kuasa dan Jelata (2) Edisi Anti Korupsi
Sirine berbunyi
Mobil-mobil berlari
Yang bersenjata berbaris rapi
Menjaga para pencuri
Orang-orang berdasi yang sembunyi
Sambil membagi-bagi
Potongan daging sapi
Dan para jelata hanya bisa menghormati
Para kuasa yang berotak mati
Yang sedang asik korupsi
Melewati jalan negriku ini
Korupsi Uang Ortu - Edisi Anti Korupsi
Tadi kularikan diriku
Membeli ini dan itu
Menuruti perintah ibu
Semua kubayar dengan uang bapakku
Lalu kembaliannya masih dua ribu
Nyasar masuk dompetku
Kunaikkan harga belanjaanku
Kala ibu bertanya dimana sisa uang itu
Sepertinya ibu tertipu
Lalu dengan senyum ragu
Ibu meninggalkanku
Dengan dua lembar uang baru
Di dompet lusuhku
Korban Korupsi - Edisi Anti Korupsi
Disebuah jalan kecil dikota Jogja
Sesosok tubuh berdiri sedikit condong
Diatas aspal yang berlubang
Dengan jerami sebagai dagingnya
Dan batu bata sebagai kakinya
Tampak seperti orang-orangan sawah yang dipasang untuk mengusir hama
Ya, sama seperti sosok itu
Yang berdiri dengan berani untuk mengusir hama-hama negara
Bedanya bukan topi Pak Tani yang menghiasi
Justru kain kafan yang menyelimuti
Dan sebuah papan terpasang didepan dadanya bertuliskan
“Korban Korupsi”
Kisah Kampanye - Edisi Anti Korupsi
Masih kuingat
Saat jemari itu menyalami tangan tangan kurus kami
Mengenyangkan perut-perut kami yang tlah lama berbunyi
Mengambil perhatian raga yang kelaparan
Menerjunkan dirinya membela yang tak berdaya
Meneriakan janji-janji perubahan dengan berapi-api
Menghibur jiwa-jiwa yang menderita
Dengan senyumnya yang begitu meyakinkan
Dan tubuhnya yang gagah mulai bergerak
Merangkul semua yang selama ini dicampakan negara
Namun
Saat banyak suara telah terlena, mulai meneriakkan namanya
Saat dia telah duduk dikursi berjudul wakil rakyat
Tak lagi ada yang sama
Karena masa kampanye telah berakhir
Kini
Jemari itu mulai mencabik segalanya
Mencipta jutaan jeritan
Mengoyak perut yang telah kosong kembali
Jutaan rakyat yang terluka tak lagi didengarnya
Janji-janji perubahan hanya menjadi sampah di pinggiran kota
Membusuk lalu terfermentasi menjadi berbotol-botol alkohol
Yang menemaninya dengan para wanita penggoda
Disalah satu villa pribadi bertingkat tiga
Karena baginya
Setelah memegang kuasa
Rakyat bukanlah prioritas utama
Karena yang terpenting adalah menebalkan isi kantong yang telah gendut itu
Gila - Edisi Anti Korupsi
Sekarang semua sudah gila
Semakin jauh bedanya
Yang kecil meminta-minta
Sedang yang besar semakin besar
Menjadi kaya, lalu mulai bisa membeli segalanya
Bahkan sekarang mereka
Mulai membeli undang-undang dan juga negara
dUNIA pARAREL - Edisi Anti Korupsi
Manusia-manusia mencicit dan bersembunyi
Dan justru tikus-tikus lah yang memakai dasi
Duduk dikursi para pejabat bejat
dan semua semakin menjadi
larut dalam uang dan kuasa
tak lagi ada kendali
dunia menjadi gila
Calon Koruptor -Edisi Anti Korupsi
Panggung telah dipersiapkan
Puluhan amplop telah diisi
Mik telah diberdirikan
Dan lagu dangdut mulai terdengar
Dilantunkan dua penyanyi seksi yang bergoyang riang
Lalu diakhir lagu, sosok berjas itu menampakkan batang hidungnya
Meraih mik dengan tegasnya
Lalu mulai berkumandang
Dengan penuh semangat berkampanye
Lalu ditengah-tengah pidatonya, dia berteriak
“Kita berantas korupsi!”
Puluhan atau bahkan ratusan rakyat kecil yang mendengar
Ikut berseru senang, berharap besar
Sosok berjas itu tersenyum, lalu melanjutkan lagi untaian kata-katanya
Tentang hausnya Indonesia untuk berpegang pada pemimpin yang bersih
Disertai promosi tentang diri sendiri
Tepuk tangan riuh terdengar
Sosok itu pun turun dari panggung kokohnya
Lalu menyalami beberapa pemimpin warga
Sambil menyelipkan amplop putih dalam salamnya
Orang-orang itu tersenyum lalu mengumbar janji
Akan mengelu-elukan nama sosok itu
Hingga rakyat kecilpun teguh percaya padanya
Dan aku melihat mereka, disini
Sambil hatiku menjerit pilu
Kecewa
Siapa sosok berjas itu?
Yang pasti, dia bukan calon pemimpin bagiku
Tapi hanyalah salah satu calon koruptor
Aku dan Ingatan tentang Negriku (2) Edisi Anti Korupsi
Inilah yang kuingat dari negeriku
Para petinggi sibuk saling melembar batu
Menyombongkan diri mencari dukungan
Baku hantam sindiran tak henti terjadi
Tawur memperebutkan kekuasaan
Yang bagaikan mantra untuk menyulap tanda tangan menjadi uang
Terinspirasi oleh para tikus tikus senior
Yang berdasi rapi
Dan masih rajin tampil di televisi
Berperan menjadi pahlawan negeri
Kata mereka yang tlah putus asa
“Sekujur tubuh negri ini tlah lapuk
Kepalanya sudah membusuk
Dan kita tinggal menunggu akhirnya saja
Akhir yang menutup semua cerita dengan tanda tanya.”
Tapi bagiku
Mungkin masih ada sedikit sisa energi
Mungkin masih cukup untuk bangkit lagi
Asal tak ada ego lagi bagi yang bertahta
Dan para rakyat bersatu berseru
Masih ada kesempatan untuk Indonesiaku
Biar yang menjadi ingatan tentang negriku
Bukan para petinggi yang memperebutkan kesempatan menjadi pencuri
Tetapi tentang Indonesia yang bebas korupsi