Kisah Satu Hari untuk Pak Presiden

| Thursday, October 2, 2014 | 0 comments |
Selamat pagi, Pak. Meskipun mungkin, ini sudah tak lagi pagi. Namun kata orang-orang ucapan yang harus sering diucapkan adalah  ucapan selamat pagi, karena mengandung semangat didalamnya. Pagi selalu menjadi awal yang baru untuk satu hari. Menjadi waktu yang tepat untuk bangun dan bangkit berdiri, menghadapi segala yang terjadi.
Pagi ini aku terbangun pukul tujuh pagi, yah, cukup siang untuk seorang mahasiswa. Tanpa mandi aku bergegas pergi. Menyalakan motorku yang siap membawaku berlari. Sial, bensinnya hampir habis. Padahal uang sakuku mulai menipis. Andai saja transportasi umum memadai, dan tentunya lebih ramah bagi dompet lusuhku.
Segera ku pacu motorku dengan tetes-tetes bensin terakhirnya. Ketika melewati sebuah jalan, kulihat seorang polisi mengijinkan sebuah motor kembali melaju, meski pengendaranya tak berhelm. Ketika kulirik kembali, selembar uang lima puluh ribuan terselip ditangannya, siap dimasukan ke kantong dibawah perut gempalnya. Aku berdecak sebentar sebelum kemudian kembali berkonsentrasi pada jalan didepanku.
Lalu aku berhenti ketika lampu merah menghadangku. Ah, sial lagi, hampir saja tadi berhasil kuterobos lampu yang sebenarnya masih oranye itu. Aku tahu itu salah, tapi toh, orang-orang dewasa lain juga melakukannya.
Kemudian, pandanganku beralih pada pengamen-pengamen kecil yang menyanyikan lagu sebisanya. Kurogoh sakuku, berharap ada sekeping-duakeping seratusan didalamnya. Namun sebelum berhasil meraih recehan itu, kubaca sebuah papan bertuliskan “Dilarang Memberikan Uang pada Pengamen”. Kubatalkan niat memberinya recehanku, lalu sesaat sebelum lampu berubah menjadi hijau, aku berpikir: andai saja mereka bisa bersekolah.
Kulanjutkan perjalananku menuju kampus. Namun jalan begitu macet tak karuan. Kendaraan-kendaraan berhenti dibawah rambu dengan huruf P yang tertutup garis coretan. Aku tertawa sebentar, tentu saja anak SD pun tahu itu bukan tempat parkir.
Akhirnya sampai juga aku dikampusku. Kupacu kaki menuju kelas diujung koridor dilantai tiga. Kelas telah dimulai sekitar lima belas menit yang lalu. Melihat kelas dari sudut ini, membuatku bernostalgia menuju masa SMA yang baru kutinggalkan beberapa bulan yang lalu. Ketika kurikulum memaksa kami mengejar nilai yang tinggi. Angka-angka yang menjadi penentu masa depan kami. Hahaha, tapi tentu saja aku adalah seorang mahasiswa sekarang. Bukan lagi angka-angka yang kukejar. Tapi lebih tepatnya, huruf-huruf pertama dari deretan alphabet, A dan B, jangan sampai C, D, apalagi E.
Pulang kuliah adalah saat yang paling ditunggu. Santai beristirahat, atau mungkin main dengan teman-teman, menghamburkan sebagian uang yang dengan susah payah dikirimkan orang tua di kampung halaman. Untuk hari ini aku memilih pulang, menonton televisi sepertinya lebih menyenangkan. Namun sayang, acara televisi tak ada yang bisa ditonton. Sinetron cukup membuatku muak; cerita yang dipanjang-panjangkan, cerita jiplakan dari karya lain, atau cerita yang tak bermakna sama sekali. Saluran selanjutnya sedang asik menampilkan acara musik yang seronok. kembali kuganti ke saluran yang lain, dan tampillah berita-berita penuh sensasi dari saluran provokatif, perang politik diatas panggung drama negeri. Beberapa bulan terakhir, berita-berita timpang itu telahsukses membuat rakyat menjadi bingung, marah, dan resah. Tombol power menjadi sasaran selanjutnya untuk kutekan. Membuat layar menjadi hitam dan terbungkam.
Hari sudah hampir berakhir, setelah beberes, aku memilih mengistirahatkan tubuh muda yang lelah ini. Lampu telah dipadamkan, mata sudah siap dipejamkan. Namun suara musik keras mengusik usaha tidurku. Sudah setiap malam sebenarnya ini terjadi, sekitar pukul sepuluh pasti suara musik dengan bass yang dahsyat akan mulai terdengar. Dan café diseberang jalan itu baru akan menghentikan live music nya ketika jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku pun bertanya-tanya, sudahkah tempat itu mendapat ijin keramaian? Atau ijin gadungan kah yang sudah mereka kantongi?
Kupaksa mataku terpejam, karena besok juga akan menjadi hari baru. Satu hari lagi telah berhasil kulewati. Selamat Malam, Pak Presiden, jalanilah pagi-pagimu, hingga lima tahun lagi, malam akan memelukmu dalam keberhasilan memimpin Indonesia.


Kami bukan Pengejar Pelangi

| | 0 comments |
Ketika kecil, yang kutahu pelangi itu indah
Dengan segentong emas diujungnya
Warna-warni membelai mata
Menghipnotisku hingga mengangga
Menanti setiap hujan yang cerah
Menunggu hingga masuk dalam pesonanya
Dalam mimpi kukejar wujudnya
Kubelai lalu bermain seluncur diatasnya

Menginjak remaja lalu dewasa, aku mulai belajar
Pelangi hanya pantulan cahaya
Tanpa mampu kusentuh wujudnya
Tanpa ujung yang menjanjikan
Hujan menjadi hal yang menakutkan
Tidurku menjelma menjadi mimpi buruk
Meski terus berlari tak pernah kutemui pelangi
Meski begitu indah rupanya
Namun tak pernah benar-benar ada

Calon pemimpin negriku, dulunya pun begitu
Dengan yakin membuat tujuan untuk negri
Membangun mimpi-mimpi tinggi
Menjanjikan ‘emas’ untuk rakyat
Membuat kami begitu tergiur
Mengejar janji itu dengan mengangkatnya
Lalu mereka menjelma menjadi pelangi
Dan kami tersadarkan
Bahwa mereka sebenarnya tak berwujud
Begitu pula dengan janji mereka
Lalu negri kami menjadi mimpi buruk
Dengan hujan kekecewaan
Rakyat kini telah dewasa
Saatnya wajah baru yang memimpin
Janji-janji baru yang dituju
Semoga bukan lagi janji-janji pelangi
Karena kami tak ingin lagi mengejar pelangi


Sidang Mari-muna

| | 0 comments |
Semua mik menyala
Semua berkata-kata
Tak ada yang mau diam
Tak ada yang mendengar

Interupsi! Interupsi!
Cabut dulu! Cabut dulu!
Ketua! Pimpinan!
Ini demi rakyat! Demi rakyat!

Interupsi diserobot interupsi
Kata ditabrak kata
Suara saling menggema
Teriakan-teriakan mengudara

Padahal mata-mata kamera menonton
Awak media gencar melapor
Kita langsung mendengar
Kita langsung melihat

Perwakilan rakyat yang sedang rapat
Bermusyawarah tanpa arah
Menjunjung tinggi kepentingan koalisi
Dan suara rakyat semakin tercekat

Mengaku sebagai wakil rakyat NKRI
Yang siap menyampaikan aspirasi
Namun bukan itu yang rakyat kehendaki

Baru kemarin demokrasi benar-benar tegak berdiri
Dengan darah perjuangan membanjiri
Namun hari ini kembali demokrasi kita dikebiri
Dikoyak hingga mati

Inilah hasil diskusi mereka
Para wakil rakyat kita
Setelah menggelar sidang mari-muna!


Sembuhkan Kami

| | 0 comments |
Pahit…
Pahit…
Pastilah pahit
Karena Bapak itu obat
Dan negri ini orang sakitnya
Koruptor-koruptor itu virus-virusnya
Kemiskinan itu bisul-bisulnya
Akan susah keluargaku mendukungmu, Pak
Karena kami sudah enak menikmati subsidi
Meski 2-3 motor telah kami miliki
Tapi kami mau sembuh, Pak
Jadi taka pa bila pahit
Asal Indonesia bisa bangkit
Maka sembuhkan kami, Pak

Jadilah obat untuk negri

Bambu dan Joko

| | 0 comments |
Bambu kecil itu tumbuh tegak
Ditengah macam tanaman
Dari yang kecil hingga pohon besar
Dari rumput hingga beringin
Angin berhembus pelan
Lalu menjadi badai
Mencoba menjatuhkan bambu
Tapi bambu itu tetap tak goyah meski terlihat lemah
Meliuk-liuk mengatasi keadaan
Angin tak mampu merubuhkannya

Tubuh kurus Joko berdiri tegak
Ditengah-tengah ragam masyarakat
Dari yang kecil hingga yang berkuasa
Dari tikus got hingga macan besar
Isu dan fitnah mulai terdengar perlahan
Dalam Koran kuning dan siaran televisi
Mencoba merubuhkan tubuh Joko
Tapi tubuh itu tetap tenang tak melawan namun bertahan
Tak goyah meski terlihat lemah
Kubu berkepentingan tak mampu menjatuhkannya


Presiden Baru

| | 0 comments |
Jalan berbatu siap menghadang
Bahkan sebelum lewat pintu gerbang
Koalisi sebrang meradang
Pantang mengaku kalah padahal pecundang
Tapi suara rakyat telah berkumandang
Foto presiden baru siap dipasang
Dan Pak Jokowi mulai melanjutkan sepak terjang


Dear You

| | 0 comments |
Dear, presiden baruku
Badan kerempengmu sudah siap berjuang
Menyelamatkan rakyat lewat kebijak(sana)an
Pikiranmu sudah bekerja keras
Menyiapkan ide-ide cemerlang

Dear, presiden baruku
Lelah takkan menjadi halangan
Blusukan terus berjalan
Melihat rakyat yang mengenaskan
Langsung kau rangkul dalam pelukan

Dear, presiden baruku
Aku memilih tanpa keraguan
Tegas, sederhana, dan jujur
Itu yang negara perlu
Untuk bangkit dan bersatu

Dear, presiden baruku
5 tahun siap menunggu
Kau buktikan janjimu
Jangan kecewakan rakyatmu

Yang siap mendukungmu

Mungkin Rakyat akan ….

| | 0 comments |
Ini cerita tentang hari esok
Dengan beberapa kata mungkin…

Mungkin rakyat akan memberontak
Karena tidak mengerti
Pak Joko sedang mengobati

Mungkin rakyat akan menangis
Karena hidup akan semakin sulit
Padahal itulah cara untuk bangkit

Mungkin rakyat akan marah
Karena BBM semakin mahal
Padahal supaya tepat sasaran

Mungkin kita harus bersabar
Karena inilah waktu terlahir kembalinya
Indonesia Raya



Paper Ospek - Plural tetapi Anti Pluralisme

| Monday, August 25, 2014 | 0 comments |


I. Contoh Kasus

Tentu kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang begitu beragam, baik keragaman suku, ras, adat istiadat maupun agama. Keberagaman atau kemajemukan inilah yang membuat seolah terbentuk kotak-kotak sosial yang menghasilkan kekhasan masing-masing dalam masyarakat Indonesia yang membedakan suatu kelompok dengan kelompok lain.
Karena hal inilah Indonesia dikenal sebagai negara yang plural. Karena arti kata plural sendiri merupakan jamak atau lebih dari satu. Kejamakan inilah yang membuat negri kita tercinta ini begitu berwarna dan kaya akan budaya yang selain dapat menjadi daya tarik, juga dapat membuat Indonesia lebih dipandang dan disegani bangsa lain.
Namun kadang keberagaman ini dapat menjadi bumerang bagi kita sendiri. Dimana perbedaan pendapat, budaya, adat, atau yang lainnya dapat memecahbelah karena tidak adanya toleransi dalam kemajemukan. Sikap atau paham yang bertoleransi, mengakui dan menerima adanya keragaman biasa kita kenal dengan pluralisme. Sikap inilah yang masih begitu langka dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung masih begitu mudah disulut atau dipanas-panasi dengan berbagai isu perbedaan suku, ras, maupun agama.
Sebagai contoh, pada pilpres 2014 kemarin, terpilihnya pasangan Jokowi-JK tentu saja menyebabkan berbagai dampak. Salah satunya, Jabatan Gubernur Jakarta yang dipegang Jokowi akan diserahkan kepada wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih sering disapa Ahok. Berbagai penolakan dilayangkan, untuk mencegah naiknya Ahok menduduki kursi no. 1 di Jakarta. Tak lain dan tak bukan, begitu banyak orang menolak Ahok karena beliau merupakan kaum nasrani dan juga seorang keturunan Tiongkok.
Tentu bukan sebuah rahasia bahwa warga negara Indonesia keturuan Tiongkok yang merupakan minoritas masih kerap kali mendapatkan diskriminasi dari berbagai pihak. Ada begitu banyak sejarah kelam yang mewarnai sejarah warga keturunan Tiongkok.
Dan saat ini di depan mata kita diskriminasi kembali terjadi. Ada belasan organisasi massa yang menentang naiknya Ahok. Pluralisme yang selalu kita serukan seolah tenggelam oleh keegoisan berbagai kalangan. Dan Indonesia kembali menjadi negara plural yang anti pluralisme.


II. Opini

Masalah SARA di Indonesia cukup membuat jenuh. Rasanya tak ada henti-hentinya isu suku, ras, agama bermunculan ke publik. Terlebih terhadap kaum minoritas seperti warga negara Indonesia keturunan. Masih sering terjadi diskriminasi terhadap warga keturunan. Sikap-sikap inilah yang akhirnya membentuk kotak-kotak dalam masyarakat yang dapat merenggangkan kesatuan Indonesia. Begitu pula dalam dunia politik, umumnya warga keturunan merasa ogah dan menarik diri dalam berpolitik, bukan hanya dalam artian ‘tidak mau terjun kedalam dunia politik’ namun juga menyebabkan sikap apatis dan malas berpartisipasi sebagai warga negara. Namun munculnya Ahok menjadi gebrakan dan kejutan besar dalam dunia politik Indonesia, dan juga bagi mereka yang anti terhadap pluralisme. Dari kampung halaman hingga menjadi wakil gubernur, bahkan sebentar lagi akan naik menjadi gubernur Jakarta. Tentunya hal ini sangat merisaukan bagi mereka yang masih belum mampu menerima keberagaman di Indonesia. Masih banyak orang yang berpikir picik atau sempit, dan  menganggap suku tiongkok di Indonesia masih merupakan bangsa asing yang singgah di Indonesia. Padahal nyatanya warga keturunan tiongkok di Indonesia hampir seluruhnya telah menjadi warga negara Indonesia, yang berarti memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Termasuk pula untuk menjadi pemimpin masyarakat. Namun karena masih mengganggap warga keturunan sebagai ‘orang asing’, para antipluralisme tidak mau dipimpin oleh warga keturunan, karena bagi mereka hal itu sama seperti dipimpin bangsa lain. Sehingga muncul ketakutan-ketakutan kembali terjadinya penjajahan di Indonesia. Dan akhirnya mereka mencoba mencegah Ahok menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jo

Salahku

| Friday, March 14, 2014 | 0 comments |

Salahkah aku jika tak merasa bahagia
Dengan hidup yang kujalani sekarang
Dengan setiap getir yang merajai
Dengan setiap sepi yang menyertai

Salahkah aku bila tak puas
Dengan cinta yang berlimpah dari keluarga
Hingga menangis mengemis cinta
Pada dia  yang tak akan memberi

Salahkah aku bila aku terus meneteskan air mata
Dan marah serta kecewa
Ketika kawan-kawanku dulu
Kini telah tertawa lebar begitu indahnya

Salahkah aku bila....

Ya, aku salah,...

Rasaku

| | 0 comments |

Pernahkah kau merasa sendiri
Terpojok sepi tanpa ada  yang menemani

Pernahkah kau merasa tak berharga
Dibuang tanpa mampu bersuara

Pernahkah kau merasa begitu hina
Hingga semua temanmu menjauh begitu saja

Pernahkah kau begitu bertanya-tanya
Mengapa semua pergi ketika kau membutuhkannya

Dan aku disini merasakan semua yang bahkan tak pernah kau bayangkan itu
Sendiri, meski berdiri tepat ditengah ramai
Tak berharga, kau buang tanpa ku tahu mengapa
Hina, bagaikan seonggok sampah
Bertanya-tanya.... Mengapa kau pergi ketika aku membutuhkanmu?

Hampir

| | 0 comments |

Aku tak pernah tau apa arti hadirku bagimu
Arti setiap waktu yang kuberikan untukmu
Arti setiap langkah yang kubuat demi dirimu
Arti setiap tatapan yang bertemu
Arti setiap senyum yang bertamu dihatiku

Sudah dua kali bumi berotasi untukku
Untuk mencintaimu
dan memberimu waktu untuk belajar mencintaiku
Namun kau tak pernah mampu

Pernah ada hati lain yang singgah
Namun dirimu masih yang terindah
Masih belum bisa membuatku lelah
menunggu dirimu

Tapi kupikir hampir habis waktu yang tercipta
Kini waktuku menarik kembali hatiku
Yang kutitipkan padamu
Kini waktuku menggambul kembali hati yang telah membusuk itu

Untuk Kawanku yang Melangkah Menjauh

| Friday, March 7, 2014 | 0 comments |

Aku tak tahu mengapa kau mengindariku
Tak pernah kumengerti alasanmu
Tiba-tiba menguap menjadi buih
Dari lautan canda kita

Ini bukan sebuah kisah cinta
Meski ada bumbu itu disana
Ini tentang sebuah persahabatan
Ketika tadinya tawa bisa mengatasi segala badai
Namun kini kabutpun tak bisa kita halau

Masih ingatkah kau kala itu
Kau rangkul aku dalam tawamu
Lagu yang kita nyanyikan dengan sumbang
Hal-hal kecil yang kita tertawakan
Kebahagiaan yang kita tebarkan

Mungkin kau lupa
Tapi setidaknya aku ingat
Dan aku yakin itu nyata
Kata persahabatan yang mengikat kita

Tapi mungkin kau bahkan tak pernah rasakan semua
Karena bagimu semua hanya angin lalu
Kalau ini semua memang sesepele itu bagimu
Bagaimana bisa kita lewati waktu yang tlah berlalu
Aku tak mengerti, dan aku merindu
Merindu dirimu yang dulu, kawan
Ketika tangan jalang itu belum menyentuh hatimu

Kecewa

| | 0 comments |

Aku kira aku pantas
Lalu dengan senyum gemilang
Naskah itu kulayangkan
Dengan tak sabar
Kutunggu 28 hari berlalu

Tak kuduga waktu cepat berlalu
Bahkan yang kutunggu datang lebih cepat
Cukup 25 hari aku risau
Kubuka lembaran itu penuh yakin

Tangis pecah
Rasa tak percayapun meledak
Sedih tak kuasa kutahan
Kecewapun merebak

Aku pernah kecewa
Tapi kini begitu menyedihkan
Jalan yang kuyakini seolah runtuh tiba-tiba
Lalu aku harus menapak dimana?
Bila aku tak layak berjalan terus pada jalan ini

Meja Pikiran, Awal Maret 2014
Tuhan, jangan buat rasa kecewa ini membuntukan jalanku

Kau dan Tempat Ini

| | 0 comments |

Aku pernah membenci tempat ini
Kala aku merasa terbelenggu
Kala aku tidak bisa terlelap dengan tenang
Kala bisik-bisik terus terdengar
Kala sosokmu memata-mataiku

Aku pernah  membenci tempat ini
Ketika waktu mulai mencampakkanku
Ketika dunia mulai menjauhiku
Ketika aku mulai tak berdaya
Ketika aku terjebak dalam ramai yang asing

Aku pernah membenci tempat ini
Diawal aku mengenalmu
Diawal aku mempelajari hal yang tak berguna
Diawal aku menjelma menjadi bisu
Diawal hidupku berubah

Aku pernah membenci tempat ini
Tapi aku telah mencoba bangkit
Mulai lagi tertawa dan merangkai canda
Merangkul kawan baru, salah satunya kamu
Mulai terbiasa dengan ketidakberdayaanku
Membaur dengan ramai yang mengganggu

Aku pernah membenci tempat ini
Tapi sejak aku berubah, tidak lagi
Aku mulai nyaman disini
Tapi sejak kau berubah, tidak lagi
Aku benar-benar membenci tempat ini
Kembali membenci hal yang pernah kubenci
Dan itu karena kau berubah, kawan

Rapuh - Edisi Anti Korupsi

| Sunday, March 2, 2014 | 0 comments |

Jelas saja negara ini rapuh
Jelas saja negara ini mulai runtuh
Lah wong
Pilar-pilarnya terus digerogoti
Bahkan dari awal pondasinya juga telah dikorupsi

Mendung -Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Langit gelap tak bercahaya
Mungkin sinar matahari telah masuk ke kantong-kantong bapak pejabat
Hujan pun tak turun-turun juga
Sudah pasti air hujan juga telah ditelannnya mentah-mentah

Kuasa dan Jelata (2) Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Sirine berbunyi
Mobil-mobil berlari
Yang bersenjata berbaris rapi
Menjaga para pencuri
Orang-orang berdasi yang sembunyi
Sambil  membagi-bagi
Potongan daging sapi
Dan para jelata hanya bisa menghormati
Para kuasa yang berotak mati
Yang sedang asik korupsi
Melewati jalan negriku ini

Korupsi Uang Ortu - Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |


Tadi kularikan diriku
Membeli ini dan itu
Menuruti perintah ibu
Semua  kubayar dengan uang bapakku
Lalu kembaliannya masih dua ribu
Nyasar masuk dompetku
Kunaikkan harga belanjaanku
Kala  ibu bertanya dimana sisa uang itu
Sepertinya ibu tertipu
Lalu dengan senyum ragu
Ibu meninggalkanku
Dengan dua lembar uang baru
Di dompet lusuhku

Korban Korupsi - Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |


Disebuah jalan kecil dikota Jogja
Sesosok tubuh berdiri sedikit condong
Diatas aspal yang berlubang
Dengan jerami sebagai dagingnya
Dan batu bata sebagai kakinya
Tampak seperti orang-orangan sawah yang dipasang untuk mengusir hama
Ya, sama seperti sosok itu
Yang berdiri dengan berani untuk mengusir hama-hama negara
Bedanya bukan topi Pak Tani yang menghiasi
Justru kain kafan yang menyelimuti
Dan sebuah papan terpasang didepan dadanya bertuliskan
“Korban Korupsi”

Kisah Kampanye - Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Masih kuingat
Saat jemari itu menyalami tangan tangan kurus kami
Mengenyangkan  perut-perut kami yang tlah lama berbunyi
Mengambil perhatian raga yang kelaparan
Menerjunkan dirinya membela yang tak berdaya
Meneriakan janji-janji perubahan dengan berapi-api
Menghibur jiwa-jiwa yang menderita
Dengan senyumnya yang begitu meyakinkan
Dan tubuhnya yang gagah mulai bergerak
Merangkul semua yang selama ini dicampakan negara

Namun
Saat banyak suara telah terlena, mulai  meneriakkan namanya
Saat dia telah duduk dikursi berjudul wakil rakyat
Tak lagi  ada yang sama
Karena masa kampanye telah berakhir

Kini
Jemari itu mulai mencabik segalanya
Mencipta jutaan jeritan
Mengoyak perut yang telah kosong kembali
Jutaan rakyat yang terluka tak lagi didengarnya
Janji-janji perubahan hanya menjadi sampah di pinggiran kota
Membusuk lalu terfermentasi menjadi berbotol-botol alkohol
Yang menemaninya dengan para wanita penggoda
Disalah satu villa pribadi bertingkat tiga
Karena baginya
Setelah memegang kuasa
Rakyat bukanlah prioritas utama
Karena yang terpenting adalah menebalkan isi kantong yang telah gendut itu

Gila - Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Sekarang semua sudah gila
Semakin jauh bedanya
Yang kecil meminta-minta
Sedang yang besar semakin besar
Menjadi kaya, lalu mulai bisa membeli segalanya
Bahkan sekarang mereka
Mulai membeli undang-undang dan juga negara

dUNIA pARAREL - Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Manusia-manusia  mencicit dan bersembunyi

Dan justru tikus-tikus lah yang memakai dasi

Duduk dikursi para pejabat bejat

dan semua semakin menjadi

larut dalam uang dan kuasa

tak lagi ada kendali

dunia menjadi gila

Calon Koruptor -Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Panggung telah dipersiapkan
Puluhan amplop telah diisi
Mik telah diberdirikan
Dan lagu dangdut mulai terdengar
Dilantunkan dua penyanyi seksi yang bergoyang riang
Lalu diakhir lagu, sosok berjas itu menampakkan batang hidungnya
Meraih mik dengan tegasnya
Lalu mulai berkumandang
Dengan penuh semangat berkampanye
Lalu ditengah-tengah pidatonya, dia berteriak
“Kita berantas korupsi!”
Puluhan atau bahkan ratusan rakyat kecil yang mendengar
Ikut berseru senang, berharap besar
Sosok berjas itu tersenyum, lalu melanjutkan lagi untaian kata-katanya
Tentang hausnya Indonesia untuk berpegang pada pemimpin yang bersih
Disertai  promosi tentang diri sendiri
Tepuk tangan riuh terdengar
Sosok itu pun turun dari panggung kokohnya
Lalu menyalami beberapa pemimpin warga
Sambil menyelipkan amplop putih dalam salamnya
Orang-orang itu tersenyum lalu mengumbar janji
Akan mengelu-elukan nama sosok itu
Hingga rakyat kecilpun teguh percaya padanya

Dan aku melihat mereka, disini
Sambil hatiku menjerit pilu
Kecewa

Siapa sosok berjas itu?
Yang  pasti, dia bukan calon pemimpin bagiku
Tapi hanyalah salah satu calon koruptor

Aku dan Ingatan tentang Negriku (2) Edisi Anti Korupsi

| | 0 comments |

Inilah yang kuingat dari negeriku
Para petinggi sibuk saling melembar batu
Menyombongkan diri mencari dukungan
Baku hantam sindiran tak henti terjadi
Tawur memperebutkan kekuasaan
Yang bagaikan mantra untuk menyulap tanda tangan menjadi uang
Terinspirasi oleh para tikus tikus senior
Yang berdasi rapi
Dan masih rajin tampil di televisi
Berperan menjadi pahlawan negeri

Kata mereka yang tlah putus asa
“Sekujur tubuh negri ini tlah lapuk
Kepalanya sudah membusuk
Dan kita tinggal menunggu akhirnya saja
Akhir yang menutup semua cerita dengan tanda tanya.”

Tapi bagiku
Mungkin masih ada sedikit sisa energi
Mungkin masih cukup untuk bangkit lagi
Asal tak ada ego lagi bagi yang bertahta
Dan para rakyat bersatu berseru
Masih ada kesempatan untuk Indonesiaku
Biar yang menjadi ingatan tentang negriku
Bukan para petinggi yang memperebutkan kesempatan menjadi pencuri
Tetapi tentang Indonesia yang bebas korupsi